Laman


Minggu, 25 April 2010

Antara Novel n Film...

Suatu ketika saya membaca sebuah novel best seller beberapa tahun silam. Dari halaman awal saya dibuat penasaran untuk membuka halaman berikutnya. Seingat saya itulah pertama kalinya saya membaca sebuah novel! Dan seiring berjalannya waktu, novel itupun diangkat dalam layar lebar alias film. Satu sisi saya terpuaskan

( popularitas filmnya jauh lebih menjulang dibandingkan dengan novelnya) tapi disisi lain, saya dikecewakan (banyak hal dari isi dan warna novel yang berbeda atau bahkan hilang dari isi dan warna yang divisualkan dalam film)

Apa sesungguhnya yang terjadi? Bagaimana mungkin muatan dan pesan sebuah novel harus berbeda dengan muatan dan pesan sebuah film padahal film itu dibuat dari novel yang sama?

Dan jawabannya adalah.....menurut sang sutradara ternama yang juga menyutradarai film tersebut mengatakan bahwa novel dan film merupakan dunia yang berbeda. Bahkan dengan nada ekstrem, sutradara ini mengatakan novel dan film ibarat bakso dan pempek.

Dua jenis makanan yang berbeda dan tidak mungkin diperbandingkan karena bahan dasar dan proses pembuatan bakso dan pempek memang berbeda, “ jadi bagaimana mungkin diperbandingkan. Kecuali bakso Bandung dibandingkan dengan bakso Jakarta. Bahan dan cara membuatnya pasti sama “. Ini adalah yang beliau sampaikan pada sebuah diskusi film yang kebetulan diadakan di kampus tempat saya menuntut ilmu.

Yah, kenyataannya sebuah film memang berbeda dengan lukisan atau karya novel. Lukisan dan novel merupakan karya perseorangan. Makanya lukisan bisa disebut sebagai “karya gue” atau karya “saya”. Sedangkan film merupakan karya bersama antara produser, penulis skenario, dan sutradara.

Lebih luas lagi, film juga hasil kolaborasi antara mereka dan juga para pemain, penata musik, penata lampu dll:-P. Oleh karena itu sangat langka jika ada seorang sutradara yang mengatakan bahwa film itu karya dia, meskipun di layar tercantum ‘by: (nama sutradara), pemahamannya lebih sebagai hasil karya penafsiran sutradara itu.

Pemahaman seperti ini berdampak pula pada saat film itu dihujat oleh masyarakat. Biasanya, masyarakat akan meminta pertanggungjawaban terhadap sutradara . Padahal kerja sebuah film merupakan kerja bersama yang hasilnya pun harus dipertanggungjawabkan secara bersama.

Proses kerja kolaborasi inilah yang menduduki posisi penting dalam pembuatan sebuah film. Bahkan sebuah film delapan puluh persen merupakan hasil kolaborasi, komunikasi, dan kompromi sedangkan sisanya berupa ide kreatif atau gagasan-gagasan. Sebagus dan sementereng apapun gagasan tanpa dikomunikasikan , dikolaborasikan dan dikompromikan, hanya menjadi ide atau gagasan yang “bisu”,

Lalu bagaimana dengan muatan, tema dan warna film yang bergeser dari novel? Bisa jadi, karena faktor : bahasa ungkap sebuah film adalah visual, sedangkan bahasa ungkap sebuah novel adalah paparan. Tentulah keindahan keduanyapun berbeda. Film dapat membahasakan mawar merah hanya dengan satu “shoot” mawar merah secara ansich. Akan tetapi, dalam bahasa novel, mawar bisa terurai begitu panjang.

Tambahan lain adalah dimana sudut pandang film dan novel itu berbeda, dan tidak dapat dibandingkan. Ini bermuara pada pemahaman, keinginan, dan harapan penulis pasti berbeda dengan keinginan produser.

Bila seorang sutradara mampu menerjemahkan keinginan penulis secara berbeda tanpa harus kehilangan makna dari karya tulis yang diterjemahkannya (sutradara), adalah sutradara yang sudah berhasil menghargai penulis.
Pada praktiknya, memang tidak mudah membuat film yang sesuai betul-betul dengan novel ( terlebih saat kapitalisme masih mencengkram, dimana para pelaku bisnis film hanya mengeruk keuntungan tanpa memperdulikan isi/muatan film tersebut apakah mendidik dan layak tonton ataukah justru sebaliknya). Mungkin, suatu saat saya yang membuat novel, saya yang memproduseri dan saya pula yang menyutradarai:-P ( imposibble mode on ). Sampai detik inipun novel saya masih tersendat-sendat
:-( ( curhat gak penting )....


Tidak ada komentar: