Laman


Selasa, 28 September 2010

Pada Perempuan itu ....

“ Nak,akhirnya kau datang jua!”
“Masuklah, ini rumahmu, usah ragu.”
Terdengar pekikan suara riang dari sebuah halaman rumah yang kumasuki. Aku menatap seraut wajah asing itu, bingung apa yang hendak ku katakan.Sekilas tampak guratan bahagia menyambut kedatanganku. Hup! Dengan semangat tangannya mulai mengapit lenganku yang masih berdiri tegak bagai patung batu, tak bersuara. Tangan yang lain mulai menarik koper dorongku, melewati halaman dengan rumput hijau segar memasuki ruang tamu, hingga tiba pada satu pintu yang tertutup kain gading berenda indah.
“ Nah, ini kamarmu, ba’a?Rancak ndak?” (Bagaimana? Bagus tidak?)
“Istirahatlah,lelah nampaknya kau, Nak, “ujarnya sambil membimbingku memasuki kamar tersebut dan meninggalkanku setelah berjanji akan menghidangkan masakan. Ku rebahkan tubuhku pada kasur empuk berseprei biru lembut. Beberapa foto tampak menghiasi dinding.Ku tatap satu foto berukuran sedang yang diletakkan di meja sudut kamar. Tampak foto pengantin berpakaian ala Minang dengan senyum bahagia. Lelaki pada foto itu begitu aku kenal, sedang perempuan yang disampingnya masih terlalu asing. Menatap foto itu, menatap sudut lain yang dihiasi pot indah dengan bunga warna merah segar.
“ Assalamu’alaikum, boleh masuk, Neng? “
Tiba-tiba terdengar suara lelaki mengetuk pintu kamar. Mendengar suara itu, segera aku bangkit menghambur ke pintu, setelah menjawab salamnya. Berjuta rindu tak mampu di bendung lagi.
“ Papiii!!!” Badanku menghambur dalam pelukan seorang lelaki yang telah lebih dari lima tahun tak pernah ku temui, sejak perpisahan itu.
“ Iya neng, ini papi..” Terdengar lelaki itu berkata dengan suara agak tercekat menahan isak mendekap erat tubuhku. “Gimana perjalanannnya lancar? Berapa jam dari Bandung ke Padang? Maaf, Papi tak sempat jemput di Bandara.Sehat, Neng? Kangen rasanya lihat anak papi yang satu ini” seberondong pertanyaan meluncur darinya. Ku tatap teduh matanya, terasa ia pun menyimpan berjuta kerinduan.
“ Ba’a ko Papi nih, anaknya masih capai, kok di tanya-tanya, biarkan istirahatlah...” perempuan asing yang tadi menyambutku, tiba-tiba berdiri di samping. “Neng, ini Mama, sudah kenalan?” ujar lelaki itu “ Masih ingat foto pernikahan yang Papi kirim beberapa tahun lalu? “ujarnya melanjutkan yang hanya ku jawab dengan anggukkan lemah tak berminat mendengarkan.
Kalau saja Papi tidak terus-menerus mengirimkan surat agar aku datang ke Padang menjenguknya, tak ingin rasanya aku kembali ke kota ini dan harus bertemu perempuan itu. Kehadirannya telah membawa kepedihan tersendiri bagiku. Kalau tak ada alasan libur kuliah satu bulan, tak ingin rasanya aku menghabiskan liburan ini disini. Sebuah kota yang dulu pernah menjadi tempat bahagiaku sebelum peristiwa itu terjadi. Perpisahan Mami dan Papi.
Jadilah ku isi hari-hari libur bersama Papi dan perempuan itu. Satu minggu berada bersamanya, masih berat rasanya lidah ini memanggilnya “mama” . Meskipun perempuan itu begitu baik memperlakukanku. Perhatian begitu tulus. Setiap hari tak pernah lepas hidangan meja makan dari berbagai masakan kesukaanku. Berbagai cara, ia usahakan agar liburanku berkesan. Mengajak jalan-jalan ke Bukit Tinggi, membeli sate di Pariaman, merasakan beningnya air terjun Ngarai Sihanok, dan berbagai tempat lainnya yang di rasakan olehnya harus ku nikmati.
Dua minggu bersamanya, terasa ada kenyamanan saat aku berada di dekatnya. Belaian tangannya di kepalaku saat tubuhku asyik berebah menikmati sajian televisi, begitu lembut. Ucapan halus saat memanggil namaku. Cubitan pada pipiku saat ia merasa gemas. Keberadaannya selama 24 jam mendampingiku, terasa begitu berarti. Seolah aku mendapatkan sesuatu yang sebelumnya tak pernah ku rasakan.
Tiga minggu bersamanya, lidah kaku ini telah berubah. Bagai burung kutilang yang selalu bersuara riang, begitulah aku saat bercerita di depan perempuan itu. Panggilan mama yang dulu enggan ku ucapkan, tak terasa mengalir dengan deru lancar dari bibir. Sehari tanpa panggilan itu rasanya ada yang kurang. Aku bebas bercerita padanya tentang beberapa pengalaman saat bolos sekolah, tentang beberapa orang teman laki-laki yang mulai mengirimkan surat cintanya, tentang kenakalanku saat SMA hingga di panggil ke ruang BP oleh wali kelas. Semua aku ceritakan tanpa ada beban bahwa wajahnya akan berubah menjadi merah marah atau suaranya akan melengking tinggi tanda tak setuju. Ia begitu tenang mendengarkan dengan sesekali menampakkan wajah tercengang di antara senyuman.
Di suatu hari, minggu keempat, saat aku baru saja menikmati indahnya bunga anggrek putih di taman, Mama mendekatiku, lalu menyodorkan selembar lipatan kertas “ Esok kau pulang nak, ini sikit kenang-kenangan. Bacalah jika ada waktu”. Ucapnya diiringi senyum. Ku ambil kertas tersebut, berwarna merah muda dengan hiasan bunga mawar kecil di setiap sudutnya.Setelah ku usapkan tangan pada baju untuk menghilangkan kotoran yang melekat, lipatan kertas itu ku buka.
Buat Anakku sayang: “Suara kehidupanku memang tak akan mampu menjangkau kehidupanmu; tapi marilah kita coba saling bicara barangkali kita dapat mengusir kesepian dan rasa jemu”
“ Aku memang hanya petempuan kedua.Tapi, izinkanlah aku mengisi bagian dirimu menjadi seorang ibu.Walau dari rahimku tak pernah terlahir engkau, anakku sayang”
***
Kini, tak terasa sudah 13 tahun waktu berselang sejak aku menerima surat tersebut. Berawal dari kenang-kenangan berupa surat yang di berikan mama-perempuan itu, aku mulai sering berkirim surat padanya. Berbagai kisah romantika hidup, sering ku ceritakan padanya. Keberadaannya bagiku telah menjadi satu sisi yang harus ada, ia adalah sahabat bagiku di saat kesepian dan kejenuhan menerpa silih berganti.
Seperti pintanya di akhir surat dahulu, kini aku memperlakukan perempuan itu bagai seorang ibu yang harus ku junjung tinggi. Walau dari rahimnya aku tak pernah terlahir, Tapi, perempuan itu adalah istri ayahku-seorang perempuan yang juga memiliki naluri ibu. Masih segar dalam ingatan, saat beberapa minggu aku tinggal bersamanya. Mama tak pernah jengah untuk berkata “Iko anak uniang, baru tibo kapatang” (Ini anak Uni, baru datang kemarin ), pada beberapa sanak famili ataupun tetangga yang sering bertanya.
Mengenal mama, hilang dalam benakku sosok buruk yang mengatakan ibu tiri kejam, ibu tiri tak punya kasih sayang.
Sungguh, padanya aku merasakan kasih sayang yang tak terhingga, kelembutan bahasanya yang indah, kesejukkan nasihat berharganya.
Curahan kasih sayang seorang ibu yang juga sering ku rasakan dari Mami-Ibu kandungku. Mama,ia adalah seorang wanita yang juga memiliki naluri seorang ibu. Dirinyapun, ingin merasakan selaksa kasih sayang dari anak suaminya tercinta, meski beberapa dari anaknya itu tak pernah terlahir darinya.
Pada perempuan itu, kini aku memanggilnya Mama. Menatap wajahnya padabingkai foto,memoriku merekam erat setiap lekukkan gurat wajahnya yang penuh kasih sayang. Ia kini mewarnai hidupku, duniaku. Kehadirannya mungkin pernah melukai hatiku, mencabik luka keluargaku. Tapi, sudahlah aku percaya di balik semua ini ada sutradara Mahakarya, Allah swt yang akan memberikan hikmah. Kini, tak ada luka menganga dariku, kakak dan adik-adikku, serta Mami padanya. Kami percaya, inilah hidup, life goes on. Ada sisi bahagia, ada sisi duka terluka. Kebahagiaan dan kedukaan yang memang harus ada bagai satu koin uang dengan dua sisi yang tak bisa terpisahkan.
Pada perempuan itu, ada cerita lain tentang seorang ibu yang mewarnai kehidupanku saat ini.

Tidak ada komentar: