Laman


Senin, 05 Juli 2010

sisi dilematis petani

Tapi tengkulak-tengkulak bergentayangan.
Namun lintah daratan bergentayangan.

Untuk apa punya Pemerintah, kalau hidup, terus-terusan susah.
(Penggalan syair lagu Desa oleh Iwan Fals)

Penggalan syair lagu di atas, yang kini sedang di rasakan oleh para petani. Bagaimana tidak, Tengkulak, lintah darat dan sejenisnya bergentayangan di mana-mana. Uang yang mereka dapatkan dari hasil panen, mau tidak mau harus dibayarkan kepada tengkulak. Itu mereka lakukan, karena sebelum panen mereka sudah meminjam uang kepada tengkulak. Sebenarnya itu tidak jadi soal, asal saja hasil panen yang mereka dapatkan di beli dengan harga tinggi. Kenyataan di lapangan,sungguh sangat jauh,  Gabah Kering Panen (GKP) di beli dengan harga  di bawah Harga Pembelian Pemerintah (HPP)per kilogramnya.
Tidak itu saja, petani juga di hadapkan dengan persoalan yang lain. Harga berapun dibawah HPP perkilogramnya  oleh Bulog atau pemerintah. Sebuah harga yang jauh di bawah harga standar. Memang seperti itu yang terjadi selama ini. Di saat musim panen tiba, harga gabah, dan beras cenderung turun. Namun kalau paceklik datang, harga beras meroket bagai jet tempur. Sungguh miris nasip para petani, di saat musim paceklik tiba, mereka harus membeli beras yang notabane itu beras dari sawah mereka sendiri.
Lalu siapa yang seharusnya di persalahkan dalam kasus ini, petani, pemerintah atau tengkulak. Dari sisi petani mereka memang mau tidak mau harus meminjam uang di tengkulak. Uang tersebut mereka gunakan sebagai modal untuk masa-masa perawatan padi sampai panen tiba. Baik itu untuk pupuk atau obat-obatan. Dan memang harga pupuk dan obat-obatan sangat mahal. Wajar saja kalau petani kekurangan uang untuk modal. Alternatifnya, pinjam uang ke tengkulak. Akhirnya saat panen tiba, uang yang mereka terima hanya sekedar numpang lewat saja. Karena selanjutnya uang tersebut harus berpindah tangan kepada para tengkulak.
Dari sisi pemerintah, seharusnya mereka menggalakkan atau menghidupkan kembali Koperasi Unit Desa (KUD). Ini di perlukan guna membeli hasil panen dari petani. Atau paling tidak membuat harga gabah dan beras sesuai dengan harga yang di tetapkan oleh pemerintah. Selain itu, koperasi juga bisa memberikan pinjaman dalam bentuk pupuk dan obat-obatan dengan harga yang terjangkau. Sehingga petani tidak terlalu banyak berhutang untuk membiayai tanaman padi mereka. Tetapi sayang, kalau saya perhatikan koperasi-koperasi unit desa yang ada di desa-desa kini sudah tidak ada lagi, sudah banyak yang mati atau tidak beroperasi. Saya tidak tahu, mengapa itu bisa terjadi. Mungkin saja karena pola pembinaan koperasi yang tidak bagus. Mungkin saja para pegawainya tidak di gaji dengan selayaknya. Sehingga etos kerja mereka ogah-ogahan. Pemerintah seharusnya tanggap dalam hal ini.
Di negeri ini, terkadang memang banyak hal yang tidak masuk akal. Salah satu contoh, kita yang banyak menghasilkan gabah atau beras, namun harus menginpor beras dari luar. Bagaimana sebenarnya pola pikir orang-orang yang duduk di pemerintahan. Di pikiran orang awam seperti saya. Seharusnya kita tidak perlu menginpor beras. Karena saya rasa dari hasil panen yang ada sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan makan. Tinggal bagaimana manajemen yang benar untuk mengolahnya.
Nasib yang di rasakan oleh para petani ini bukan cerita yang baru. Cerita ini sudah lama terjadi. Di setiap panen tiba, inilah yang selalu di rasakan oleh para petani. Kalau memang begini keadaannya, maka nasip petani: dulu, kini dan yang akan datang akan tetap sama saja. Selalu dalam kondisi yang tercepit. Kapan ya petani di negeri ini akan menikmati hidup yang layak. Kapan ya petani di negeri ini akan bangga menjadi petani. Bangga dalam artian memang jadi petani bisa di jadikan sebagai tumpuan untuk hidup yang layak.
Desa harus jadi kekuatan ekonomi
Agar warganya tidak pindah ke kota.
Desa harus jadi modal utama, untuk kita mengembangkan diri.
(Penggalan sair lagu Desa oleh Iwan Fals)
Tetap semangat, dan terus berjuang.!!!!


Tidak ada komentar: