Laman


Kamis, 06 Mei 2010

akhirnya...ku mengenalmu

Emm, terkesan so’puitis ya judulnya? Soalnya perkara judul itu adalah kelemahan saya, mungkin juga karena judul selalu saya tempatkan terakhir setelah “puas” menulis. Ok, sekarang apa si yang mau saya bahas? Dan kepada siapa sebenarnya tulisan ini dibuat? Ini ditujukan untuk semua yang membaca
( termasuk saya pribadi ) yang akan saya angkat adalah hal yang paling membuat saya betah di dalamnya yaitu “dunia anak-anak”.
Bukan tentang bagaimana bermain dengan mereka, tapi…saya akan berbagi tentang sifat mereka. Saya tipikal orang yang sangattttt menyukai anak-anak dan saya yakin itu bukanlah sesuatu yang spesial karena hampir sebagian besar orang dewasa suka dengan anak-anak, hanya saja tidak semua orang mampu menjadi “teman” untuk mereka.
Saat saya di panti asuhan, awalnya bahagia karena di kelilingi anak-anak yang lucu dan menggemaskan. Tapi…pernah juga kelabakan karena begitu banyaknya anak-anak sementara “kemampuan” saya terbatas untuk merangkul mereka semua, kelabakan disini bukan dalam artian “repot mengurus” tapi lebih kearah belum bisa memahami sifat mereka yang heterogen. Ada lho orang yang senengnya ama anak yang pendiam, ada pula yang suka ama anak yang ngoceh tiada henti, ada pula yang jaga jarak karena si anak pemarah, dan pada saat itu segala sifat itu harus saya hadapi dalam waktu yang bersamaan!!!
Setelah cukup lama menjadikan mereka “bahan penelitian” akhirnya saya menemukan beberapa hal tentang mereka :
*Egosentris
(sifat yang umumnya muncul pada anak usia 15 bulanan-atau saat anak sadar sudah sadar akan dirinya sendiri/”self awareness” ), ini disebabkan ketidakmampuan si anak dalam melihat suatu hal dari sudut pandang orang lain.
-Bila ingin sesuatu harus di dapat saat itu juga alias tidak mau menunggu. ( tapi, perkara yang satu ini ternyata ada juga khan yang akhirnya terus “menempel” hingga dewasa Ckck….), mm contohnya hari telah malam sementara si anak minta es krim, lalu bagaimana kita menyiasati hal tersebut ? : memang agak sulit, balita diberi pengertian, meski ada beberapa anak yang sudah bisa. Nah kita yang dewasa ini harus memberi pengertian bahwa tidak semua keinginannya harus terpenuhi, “Sayang…sudah malam, mataharinya juga sudah tidur, tokonya juga sudah tutup. Nanti saat mataharinya bangun pagi, baru kita beli es krim” Jadi, yang penting adalah kita harus memberi “aturan” yang konsisten.
*Bossy atau Suka Perintah
Sebenarnya si, masih ada hubungannya dengan egosentris ya, tapi sifat ini adalah kelanjutan dari usia bayi, dimana selalu ingin diladeni. Saat mereka memasuki usia balita, dimana mereka tidak lagi bergantung pada orang dewasa dalam artian ia sudah bicara, jalan, dan melakukan hal apapun yang diinginkannya, anak ini memiliki otonomi.Sikap otonom ini sering dibarengi dengan sikap menyuruh orang lain demi mendapatkan apa yang diinginkannya. Seperti “ Teh, ambilin susu!” atau “Bukain sepatu!!!” Kondisi ini bisa diperparah bila ada orang dewasa di sekitar anak yang juga bersikap “bossy” atau memang anak tidak dibiasakan mandiri. Yang jelas sifat yang satu ini tidak akan hilang dengan sendirinya, karena si anak merasa keenakkan.
Lalu, bagaimana cara kita menyiasatinya ?
-Ajarkan kemandirian (dari hal-hal sederhana) secara bertahap seperti cuci tangan sebelum makan, makan sendiri, buka sepatu dan lainnya. Bila si anak sudah terlanjur “bossy” dan terbiasa main suruh, coba bangun kemandiriannyadan dorong ia untuk mengerjakan segala sesuatunya sendiri.
“ De, coba buka yuk sepatunya sendiri. Teteh temani”
*Agresif
Sifat ini sebetulnya sudah tampak sejak usia bayi. Namun akan semakin kerap kemunculannya di atas usia balita. Si anak merasa keinginannya tidak dipahami orang dewasa (berkaitan dengan komunikasianak balita yang masih terbatas ).
Agresivitas juga dapat muncul karena kebiasaan. Misal saat anak belajar dari pengalamannya jika ia berteriak-teriak atau melempar barang, maka orang akan memenuhi apapun yang diinginkannya. Sifat agresif yang tidak diantisipasi bisa menjadi habituasi dan berlanjut hingga usia dewasa nanti.
Cara menyiasatinya adalah : Saat anak “tantrum” , peluk atau pegang tangan/badannya. Biarkan ia marah. Setelah kemarahannya reda, kita bisa tanyakan penyebabnya sesuai dugaan atau perkiraan kita. Misal “ de, pasti marah sekali ya karena Teteh tadi lupa membelikanmu mainan. Tadi teteh bener-bener lupa sayang…tapi sekarang udah malam, toko juga sudah tutup. Besok pas tokonya buka, kita beli sama-sama ya?” dalam keadaan emosional, anak balita akan bingung mengatakan apa yang mengatakan apa penyebab rasa kesalnya. Lebih baik, kita yang mendefinisikan perasaannya. Cara ini membuat anak merasa dipahami perasaannya.
Ingat ya kawan, jangan pernah menanggapi agresivitas anak dengan cara yang agresif pula. Contoh, saat ia memukul temannya, jangan kita malah mencubit si anak untuk menghentikan aksinya. Benar sih anak tidak akan meneruskan pukulannya, namun anak justru memperoleh gambaran bahwa sikap kasar itu diperbolehkan.
Memberi penjelasan pada anak balita memang tidak mudah (berdasarkan pengalamanL), tapi, jangan putus asa ya! Lama kelamaan jika dia dijelaskan, anak akan belajar bahwa untuk mendapatkan sesuatu tidak harus dengan agresif.
*Pemalu
Nampaknya tanpa saya jelaskan definisinya, pembaca dah tahu dech gimana si bawaan anak pemalu ( he sotoy!), tapi bagi yang belum bisa mengindra mari kita ingat-ingat perilaku anak-anak yang tergolong pemalu.
Si anak bersembunyi di balik kaki kita, atau terus menerus memegangi baju kita saat bertemu orang lain? Atau ketika di tanya, anak memilih diam dan menundukkan kepala? Mungkin itu bisa dikatakan pemalu, namun bisa juga karena takut paada orang asing atau tidak terbiasa bertemu dengan orang banyak.
Sifat pemalu ini karena pembawaan pribadi ( diturunkan dari orang tua yang juga pemalu ) akan terbawa sampai dewasa. Sifat pemalu membuat anak sulit mengembangkan diri dan beradaptasi dengan lingkungan sekitar.
Cara menyiasatinya :
Untuk menghadapi anak pemalu sebaiknya kita sering membawanya untuk bersosialisasi. Latih sejak dini dengan memasukkan anak pada lingkungan, dimana anak bisa bermain, seperti taman bermain. Bisa juga mengajaknya ke tempat-tempat pertemuanatau kenalan kita, anak bisa diminta untuk mengenalkan dirinya atau menyapanya Misal : “ sayang..kenalin ni temen teteh namanya teh putri, ayo salam. Beritahu siapa namamu ya De…”
*Penyendiri
Nah ini dia yang pernah membuat saya pusing tujuh keliling. Sebenarnya saya juga tipikal yang penyendiri (curhat mode onJ ), Cuma bedalah ama anak yang saya hadapi saat itu.
Jadi sifat penyendiri pada usia balita, selain dikarenakan perkembangan kognitif anak dalam melihat sesuatu masih dari sudut pandangnya sendiri, perkembangan sosialnyapun masih belum berkembang baik.
Anak baru mulai sadar akan adanya tuntutan dari lingkungan pada usia 3 tahun ke atas. Lantaran itulah, saat bermain, anak tampak “soliter” ( ingat kata ini jadi ingat kata seorang akhwat yang tidak boleh disebut namanyaL, what the meaning ? soliter adalah lebih suka bermain sendiri), meski ada teman di sampingnya.
Bagimana cara menyiasatinya?
Sama seperti halnya anak yang pemalu, kita perlu lebih aktif mengajaknya untuk mengikuti kegiatan bersama dan bersosialisasi. Mulailah dari lingkungan terdekat, karena waktu itu di panti asuhan maka saya mengajaknya untuk bergabung dengan teman-temannya, atau saya mengenalkan pada teman-teman saya kalau misalnya anak yang tinggal sama orangtua maka ajaklah mengunjungi tetangga, acara keluarga, jangan lupa Setiap saat ajaklah anak berkomunikasi dan jangan lupa sediakan waktu untuk mendengarkan dan menanggapi setiap ujarannya. Semakin ia percaya bahwa kita bersedia menjadi pendengarnya yang sabar, maka anak akan semakin berani bicara dan lebih bersikap terbuka.
Finally, alasan-alasan mengapa anak balita menunjukkan sifat egois, agresif, bossy, tapi juga suka menyendiri dan bahkan pemalu, semuanya wajar asalkan tidak menetap dan sampai menghambat pengembangan dirinya. Untuk itulah sifat-sifat khas tersebut tetap perlu diintervensi agar dapat menempati porsinya yang pas dan memberi kesempatan kepada sifat lain yang lebih baik untuk berkembang sebagai karakter anak.  

Tidak ada komentar: